Oleh Nathan Schneider 30 Desember, 2014
Alex orang sibuk. Suami dan ayah beranak tiga usia 36 tahun ini setiap hari berangkat ke kantornya, sebuah perusahaan telekomunikasi besar di Denver—ia merantau dari Peru ke kota ini pada 2003. Malam harinya, sebagai mahasiswa S1 jurusan ilmu sosial di sebuah kampus dekat rumahnya, ia belajar di kelas, atau mengerjakan PR. Dengan atau tanpa alarm, setiap harinnya ia bangun pukul 5 pagi. Setelah sarapan dan selintas membaca koran , barulah ia sempat bekerja dalam kapasitasnya sebagai satu-satunya pengurus dan webmaster “Kampanye Global Hari Kerja Empat Jam” cabang Amerika.
“Belakangan ini saya coba kontak beberapa organisasi lain,” katanya, “ironisnya, saya enggak punya waktu.”
Tapi Alex punya rencana besar. Sebelum dekade ini berakhir, ia membayangkan “gerakan yang sungguh dahsyat” dengan cabang di seluruh pelosok dunia yang secara bersamaan mendalangi kegiatan mogok kerja yang diperlukan untuk mencapai tujuannya.
Seabad lalu, gerakan semacam ini mungkin punya kans lebih besar. Selama puluhan tahun gerakan buruh Amerika sudah turun ke jalan bersama ratusan ribu pekerja untuk menuntut hari kerja delapan jam. Pada jamannya, gerakan ini dianggap sebagai satu langkah ke depan dalam pengurangan jam kerja bertahap yang akan terus bergulir. Sebelum Perang Saudara AS, buruh-buruh seperti pekerja perempuan di Lowell, Massachusetts, pernah memperjuangkan pengurangan jam kerja dari 12 jam (atau lebih) ke 10 jam. Kemudian setelah dilanda Depresi Besar, serikat buruh menuntut pengurangan jam kerja untuk membagi beban kerja yang telah berkurang dengan lebih banyak buruh guna mencegah PHK. Perusahaan besar seperti Kellogg’s secara sukarela menerima tuntutan tersebut. Tapi setelah Perang Dunia Kedua, rutinitas delapan jam ini tetap berlaku. Sekarang, mayoritas pekerja bekerja lebih lama dari delapan jam.
Amerika Serikat kini mengalahkan semua negara kaya dalam hal jam kerja per tahun. Para pekerja di AS bekerja tiga ratus jam per tahun lebih banyak dibandingkan pekerja di Eropa Barat. Sebagian besar penyebabnya adalah ketiadaan cuti bergaji. (jam kerja pekerja Jerman lebih sedikit dari pekerja AS, semantara jam kerja pekerja Yunani jauh lebih panjang). Rata-rata tingkat produktivitas pekerja AS naik dua kali lipat sejak tahun 1950, tapi tingkat pendapatan jalan di tempat—kecuali jika Anda hanya melihat pendapatan kelas elit, yang jadi jauh lebih kaya dalam rentang waktu yang sama. Maklum, nilai produktivitas ekstra tersebut mestilah disalurkan ke suatu tempat.
Dulu, adalah lazim untuk berpikir bahwa kemajuan teknologi akan menambah waktu luang. “Seandainya setiap lelaki dan perempuan mengerjakan sesuatu yang berguna selama empat jam setiap hari,” tutur Benjamin Franklin, “tenaga yang ada akan menghasilkan semua kebutuhan dan kenikmatan hidup.”
Karya-karya fiksi ilmiah pun cenderung menganggap masa depan dengan jam kerja yang pendek nyaris sebagai suatu kelaziman. Novel laris Edward Bellamy Looking Backward (1888), menggambarkan suasana di tahun 2000, di mana orang bekerja empat sampai delapan jam sehari—sementara kerja-kerja yang kurang menyenangkan membutuhkan waktu yang lebih pendek. Dalam semesta Star Trek, orang bekerja untuk mengembangkan diri, alih-alih memenuhi kebutuhan sehari-hari. Di film Wall-E, robotlah yang kerja; manusia tinggal santai di atas sofa melayang.
Ketika perjuangan menuntut hari kerja delapan jam sedang panas-panasnya di tahun 1930an, sebuah kelompok bernama Industrial Workers of the World (IWW atau Pekerja Industri Sedunia) sudah mencetak selebaran untuk mensosialisasikan apa yang mereka anggap menjadi tujuan besar selanjutnya; empat jam kerja per hari, empat hari kerja dalam sepekan, dan upah layak. “Kenapa tidak?” tanya propaganda IWW.
Pertanyaan bagus. Empat jam kerja dan upah yang mencukupi kebutuhan sehari-hari mungkin solusi bagi banyak masalah-masalah mendesak kita. Jika jam kerja semua orang lebih pendek, misalnya, akan ada lebih banyak lowongan bagi para penganggur. Ekonomi tidak akan bisa memproduksi sebanyak sebelumnya, dan itu artinya lebih sedikit polusi. Jejak karbon di negara-negara kaya, di mana jam kerja lebih rendah, biasanya lebih rendah. Pengurangan jam kerja juga akan menyisakan lebih banyak waktu untuk keluarga dan mengurus anak, yang kemudian bakal mengakhiri pahitnya “keseimbangan antara kerja dan kehidupan” (work-life balance). Maka lenyaplah wabah lembur yang telah meningkatkan resiko penyakit jantung, diabetes, dan Alzheimer.
Sejarawan Universitas Iowa Benjamin Kline Hunnicutt telah mengabdikan karirnya untuk memulihkan “amnesia nasional” tentang apa yang dulu merupakan impian Amerika (American dream), yaitu peningkatan waktu senggang – hari suci para Kristen Puritan, kebebasan berkelana yang dibilang Walt Whitman sebagai “higher progress” (kemajuan yang lebih tinggi), the “Big Rock Candy Mountain”1. Buku terbaru Hunnicutt, Free Time (Waktu Senggang), melacak bagaimana mimpi ini berkembang dari yang awalnya dibayangkan sebagai keniscayaan teknologis menjadi tuntutan terdepan dalam abad perjuangan buruh, sampai akhirnya lenyap di jaman distopia sekarang, ketika pekerjaan merongrong tiap jam dalam kehidupan kita.
Hunnicutt sendiri memiliki tampilan bak sufi ala Walt Whitman: jenggot tebal kelabu dan tawa menggelegar. “Mimpi ini sepertinya sudah dilupakan, lenyap di belantara uang dan pekerjaan,” ratapnya.
Dalam esai berjudul “Economic Possibilities for Our Grandchildren” (Kemungkinan-Kemungkinan Ekonomi bagi Anak Cucu Kita, 1930), ekonom kondang John Maynard Keynes memberikan petunjuk tentang apa yang terjadi pada mimpi itu.
Dia memperkirakan bahwa pada tahun 2030, akan ada sistem “pengangguran teknologis” (technological unemployment) yang nyaris berlaku mutlak. Di dalam sistem ini, kita hanya diwajibkan bekerja selama lima belas jam per minggu, sekadar biar tidak gila karena waktu senggang yang berlimpah. Namun demikian, sebelum sampai di jaman itu, “kita masih akan sedikit lebih lama menyembah kerakusan, riba yang berlebihan dan kehati-hatian,” tulis Keynes. “Sebab hanya merekalah yang bisa menuntun kita keluar dari cengkeraman kebutuhan menuju hari yang cerah.”
Di titik itu dia mengusulkan kesepakatan dengan iblis: percayalah pada keserakahan sebentar saja, maka kita akan selamat dari keserakahan itu sendiri. Sebagai gambaran, Keynes menyajikan amatan yang agak anti-semit, yang kira-kira begini bunyinya: sebagaimana seseorang Yahudi yang bernama Yesus memberikan jalan menuju kehidupan abadi, kecerdasan bangsa Yahudi menumpuk bunga berganda akan membuahkan faedah yang berlimpah sehingga mampu menyelamatkan kita dari perbudakan upah (wage slavery) selamanya. Akan tetapi, Keynes tidak berekspektasi bahwa—seperti kebanyakan kesepakatan dengan iblis lainnya—si iblis berada di atas angin: keserakahan akan menghisap sebagian besar manfaat dari kemajuan hebat ini untuk dirinya sendiri.
Hunnicutt telah menghabiskan sebagian besar karirnya untuk menggambarkan secara persis bagaimana keserakahan menghisap habis kemajuan yang dimaksud. Pada jaman Depresi Besar, tekanan dari para taipan berhasil membuat Presiden Roosevelt berubah pikiran sampai-sampai melawan kampanye pengurangan jam kerja. Dia memastikan agar RUU Black-Connery (the Black-Connery Bill)—yang sedianya mengesahkan tiga puluh jam kerja per minggu dan telah lolos di Senat—akan dibabat di DPR (House of Representatives). Dengan saran dari Keynes tentang pengeluaran defisit (deficit spending), kebijakan ‘New Deal’ Roosevelt bertujuan memperkerjakan semua orang “secara purnawaktu”. Undang-Undang Fair Labor Standards (1938) membakukan delapan jam kerja per hari. Inilah capaian terakhir dalam seabad kampanye pengurangan jam kerja. Seiring dimulainya Perang Dingin, aktivis buruh yang masih menuntut pengurangan jam kerja bisa dicap komunis dan subversif. Semakin sedikit pula pekerja yang dapat bergabung dengan serikat buruh.
Setiap jam kerja menjadi semakin produktif, sementara kelas pemilik (owning class) meraup porsi yang lebih besar dari keuntungan yang didapat.
Perlahan-lahan, sebuah impian Amerika baru mengantikan yang lama. Alih-alih waktu senggang, atau penghematan, konsumsi menjadi tugas patriotik. Korporasi bisa membenarkan segala ulah mereka – mulai dari kerusakan lingkungan hingga pembangunan penjara – demi menciptakan segala rupa pekerjaan baru. Pendidikan liberal arts2, yang pada awalnya ditujukan untuk mempersiapkan orang untuk menggunakan waktu senggangnya dengan bijak, telah dikemas ulang sebagai program latihan-kerja yang mahal dan tidak efisien. Kita sudah berhenti membayangkan bahwa kehidupan anak cucu kita akan lebih mudah daripada kehidupan kita, sebuah imajinasi yang menurut Keynes cukup masuk akal. Terlebih jauh kita berharap mereka akan memiliki pekerjaan, mungkin bahkan pekerjaan yang mereka sukai.
Mimpi baru akan kerja banting tulang terlanjur luar biasa mencengkeram kita. Sekarang, hampir tidak ada seorang pun yang menyatakan harapan atau merasa berhak atas jam kerja yang yang lebih singkat; setinggi-tingginya harapan kita cuma pekerjaan yang sempurna, yang sesuai dengan cita-cita kita. Dalam pencaharian sunyi dan tak kenal lelah atas pekerjaan idaman, kita tidak ambil pusing untuk berserikat dengan rekan kerja kita. Kita dibuat merasa bersalah jika membayangkan waktu luang. Seolah-olah, kalaupun ada waktu luang, pasti kita sia-siakan.
Makin sering kita dituntut menghargai pekerjaan, makin rendah pula nilai pekerjaan itu. Pada era ketika perempuan mulai bekerja di luar rumah, biaya kebutuhan rumah tangga meroket, sehingga dibutuhkan dua sumber pendapatan untuk memenuhi kebutuhan keluarga—dan perempuan masih dibebani dengan sebagian besar pekerjaan rumah tangga dan mengurus anak-anak. Lembur jadi kewajiban bagi banyak orang, dan bekerja paruh waktu sama artinya dengan menjalani satu atau dua pekerjaan paruh waktu sekaligus. “Beberapa pekerja mendapat jam kerja yang lebih pendek, tapi tidak bisa memperoleh pemasukan yang stabil,” tutur Karen Nussbaum, yang memimpin Working America, sebuah perusahaan yang berafiliasi dengan American Federation of Labor and Congress of Industrial Organizations.
Dalam sisa-sisa gerakan buruh sekarang, jangankan menuntut pengurangan jam kerja; meraih upah layak, cuti sakit sambil digaji, sedikit waktu libur, dan cuti hamil pun sudah sangat sulit. “Krisis [jaman sekarang] itu beda – lebih akut dan lebih merajalela,” ujar Nussbaum yang membandingkannya dengan masa-masa ketika dia mulai mengorganisir buruh perempuan pada 1970an.
Anda pasti sudah dengar tentang buku The 4-Hour Workweek. Atau setidaknya pernah melihatnya di toko buku bandara, bersama para businessman yang melirik sampulnya bak katalog lingerie perempuan. The 4-Hour Workweek adalah kumpulan motivasi ala Mario Teguh, sebuah buku yang menjual obsesi ganjil namun laku keras: “bekerjalah dengan lihai, bukan lebih keras,” maka Anda akan bergabung dengan sang penulis Timothy Ferriss beserta kawan-kawannya dalam klub “Orang Kaya Baru” (New Rich) –cukup dengan investasi cerdik plus usaha minim. Jangan salah, ini bisa kejadian—tapi hanya bagi segelintir orang yang kebetulan beruntung dari jutaan orang bego yang sudah membeli buku ini.
Ide hari kerja empat jam yang dibayangkan gerakan buruh seratus tahun yang lalu berbeda. Gagasan ini merangkul semua orang – sebuah dampak alamiah dari kemajuan teknologi. Namun selama puluhan tahun sejak Perang Dunia Kedua, kapitalisme tidak sukarela memangkas jam kerja. Dulu, secara umum utopia waktu senggang dianggap sebagai persoalan teknologi, ternyata bukan. Ini persoalan politik.
Industrial Workers of the World menganggap jam kerja pendek tanpa pemotongan gaji sebagai—seperti tertulis dalam satu selebaran—“Tuntutan Revolusioner yang Paling Utama.” Kelompok ini, seringkali dijuluki “Wobblies”, mengakui bahwa jam kerja yang lebih sedikit bakal menjamin pekerja mendapat keuntungan dari kemajuan, alih-alih membiarkannya menetes ke atas. Demi memenangkan kampanye delapan jam kerja pada era Perang Dunia I, para penebang kayu yang diorganisir IWW di daerah Barat Laut Amerika Serikat, akan meniup pluit dan berhenti kerja ketika delapan jam sudah berlalu.
Selebaran baru IWW menawarkan strategi lain untuk memperingatkan dampak jam kerja panjang terhadap keluarga: Menyuruh anak-anak pekerja mogok di depan tempat kerja, dengan spanduk yang menyatakan betapa mereka merindukan orangtua.
Dalam beberapa bulan ini ada sedikit pertanda kemajuan. Setelah mendapat tekanan yang keras dari buruh-buruh yang terorganisir, Presiden Obama mengumumkan peraturan yang lebih ketat soal pembayaran lembur; sementara itu, pemerintah memprediksi kemungkinan jutaan pekerja pindah dari pekerjaan paruh waktu ke purna waktu karena mereka mampu membeli asuransi kesehatan melalui sistem yang baru. Wakil rakyat Paul Ryan dengan cepat menyatakan kekhawatiran bahwa dengan adanya asuransi kesehatan yang terjangkau, “dorongan untuk kerja akan berkurang.” Baginya, bayangan bahwa buruh miskin bekerja lebih sedikit, dan tetap memiliki asuransi kesehatan, merupakan penghinaan terhadap nilai luhur AS. Dia sungguh-sungguh mengatakan, “Itu menaburkan garam di atas luka”.
Dengan cara ini, pendekatan yang paling mungkin ditempuh adalah memisahkan kebutuhan—misalnya asuransi—dari pekerjaan. Peter Frase, editor majalah Jacobin dan salah satu pendukung pengurangan jam kerja yang paling cakap, menyerukan pentingnya pendapatan dasar untuk semua orang (universal basic income). Orang-orang yang sudah mampu mencukupi kebutuhan dasar, bisa menentukan berapa banyak waktu yang perlu mereka alokasikan untuk bekerja demi menambah pendapatan dasar. Namun, selama tidak ada gerakan yang kuat dan siap mogok untuk menuntut penerapan skema tersebut, politisi dan elit-elit lainnya akan terus berdalih bahwa anggaran pemerintah tidak cukup.
Para pekerja di negara-negara dengan organisasi buruh yang kuat biasanya lebih sadar. Gothenburg (Swedia) kini mengelar eksperimen kerja enam jam untuk pegawai negeri sipil, sementara di Perancis, di mana 35 jam kerja per minggu sudah dianggap lazim, serikat buruh tengah berjuang menetapkan peraturan yang melarang penggunanan surel kerja di luar jam kerja.
Gawai-gawai hemat waktu yang diharapkan Benjamin Franklin kini sudah ada. Tapi alih-alih memerdekakan orang, mereka malah dimanfaatkan sebagai tabir keserakahan korporasi untuk merampas kehidupan kita, siang dan malam. Tak banyak subkultur yang menggemari lembur di kantor seperti halnya para programmer Silicon Valley. Tapi siapa sih yang diuntungkan dari aktivitas begadang coding mereka?
Mungkin yang diuntungkan adalah orang-orang yang berusaha mencegah para pegawai rendahan Silicon Valley untuk berserikat, orang-orang yang merasa tidak ada salahnya orang-orang ibu tunggal (single mothers) menjalani dua pekerjaan, orang-orang yang berharap Anda membuka email dua puluh empat jam sehari, orang-orang yang mengatakan bahwa kita lebih butuh pertumbuhan ekonomi ketimbang membiarkan para penggangur meringankan pekerjaan yang sudah ada. Yang jelas, orang-orang yang memercayai para majikan ini, dan tidak berorganisasi bersama rekan kerja mereka, sudah “mencuri” empat jam kerja dari diri mereka sendiri.
1Big Rock Candy Mountain adalah lagu folk tentang firdaus dari perspektif pengelana, sebuah versi modern dari surga dunia ala abad pertengahan, di mana ayam menghasilkan telur yang sudah masak dan rokok bisa dipetik dari pohon.
2 Liberal arts (Seni liberal) merujuk pada salah satu jenis kurikulum pendidikan yang berbasis pendidikan klasik. “Seni liberal” didefinisikan oleh Encyclopaedia Britannica sebagai “kurikulum perguruan tinggi atau universitas yang bertujuan memiliki pengetahuan umum dan meningkatkan kemampuan intelektual selain daripada kurikulum yang bersifat profesional, kejuruan, atau teknis.” (https://id.wikipedia.org/wiki/Seni_liberal)
Artikel asli dimuat di Vice AS — https://www.vice.com/en_us/article/yvqqxw/who-stole-the-four-hour-workday-0000406-v21n8
Semua ilustrasi adalah pembuatan kembali (re-creations) dari lebaran kampanye hari kerja empat jam pada dekade 1930an dan 1940an. Gambaran asli milik Industrial Workers of the World.
Terima kasih banyak untuk Windu Jusuf dan Yessi Arinda Brawimansudjoyo untuk bantuannya dengan terjemahan ini.